Selasa, 24 Maret 2009

Apakah Materi Relevan dengan Kepuasan?

"Lu musti punya opsi untuk keluar, Boy," Kata Juli, one of my best friend "How long has it been? 5 or 7 years? You deserve to have a better one." katanya berusaha lebih meyakinkan aku. Aku masih tidak bergeming.

######
Juli adalah teman yang sangat mengenal aku. Dia selalu dapat diandalkan untuk memberi masukan-masukan penting menyangkut hal apa saja. Masukannya objektif dan terkadang memberi sudut pandang yang kadang-kadang tidak bisa aku lihat sebelumnya. Dilain waktu dia ada hanya untuk sekedar menyemangatiku ketika aku meragu untuk melangkah. Aku mengenalnya ketika sama-sama ambil kuliah S-1 di Universitas Borobudur, Jakarta. Pertama kali melihatnya adalah pada waktu penataran P-4. Waktu itu dia lebih sering tampil sebagai juru bicara di kelompoknya (Nusa Jaya B), dan selalu berdebat sengit denganku, karena aku merupakan juru bicara di kelompokku (Nusa Jaya A). Pada akhir masa penataran, kami sama-sama terpilih sebagai anggota terbaik bersama 8 orang lainnya.
Setelah perkuliahan dimulai, Juli ternyata sekelas denganku. Disana aku mulai lebih mengenalnya dan ternyata we have lot things in common. Dan hal tersebut membuat kami cepet akrab. Juli mempunyai puseran rambut di tengkuk bagian belakang, dan aku juga punya persis ditempat yang sama. Juli pernah punya panu di lengan kanannya, sementara aku juga punya, tapi di lengan kiri (pada waktu bersamaan). Suatu hari aku main ke rumahnya, dan dia show off orang tuanya baru saja membeli TV baru yang sangat besar. Waktu itu Aku kagum dengan TV besar tersebut. Tapi ketika aku libur dan pulang ke Padang, aku mendapati orang tuaku juga telah membeli TV baru yang merk, ukuran dan tipenya sama persis dengan yang orang tua Juli punya. Kami (dulu) menyukai selera fashion yang sama, celana jeans dengan kaos oblong yang ditutupi kemeja gunung (flannel) tanpa dikancingi (you can't imagine how proud we were with that style). Kami menyukai makanan yang sama, walaupun beda porsi (Juli makan lebih sedikit dari aku, tapi frekuensinya lebih sering). Dan rasanya tidak terlalu mengherankan kalau kami pernah menyukai perempuan yang sama. Tentu saja hal tersebut tidak membuat persahabatan kami terpecah (siapa pemenangnya, itu tidaklah penting).
He's always there in good and bad. He can be my friend when I become Mr. Right, but he's also my partner in crime as well. :)
######

Kali ini Juli mengucapkan itu ketika kami sama-sama berada dalam kendaraannya sehabis membeli DVD bajakan Al Gore "The Inconvenient Truth" yang fenomenal itu (though it's a bit late for him to watch the movie). Kami dalam perjalanan dari Kuningan menuju Tebet. Persis di jalan Slamet Rahardjo, sebelum tugu Pancoran, Juli kembali mengutarakan hal tersebut untuk yang kesekian kalinya
Aku sangat menghargai pendapatnya. Kami sedang membahas pekerjaan yang aku lakoni sekarang. Menurutnya aku pantas untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari yang aku jalani sekarang. Juli meyakinkan aku bahwa aku bisa saja menerima gaji dan kompensasi yang lebih besar dari yang aku terima sekarang. And it's only one way to make it happen, quit and try to get another (better) job. He said that I had enough qualification and experiences to have a better one. And he believed that I had every thing to make it happen. "You are too smart for this thing, Boy, come ooon....," kata Juli.
Seperti biasa, bukan Juli namanya kalau tidak bisa memberi sesuatu yang bisa membangkitkan semangatku. (apa aku bilang dia selalu memberi masukan yang objektif? well, mungkin tidak dalam hal menyemangatiku).
Topik obrolan seperti ini sering dilontarkan oleh orang-orang yang berada dalam lingkar 1 ku (Istri, saudara dan teman-teman dekatku). Tentu saja mereka menyampaikannya dengan cara yang kira-kira tidak menyinggung perasaanku. Hal yang jadi pertimbangan mereka hampir sama, yaitu jumlah kompensasi yang aku terima. Aku selalu jujur menjawab pertanyaan mereka mengenai jumlah gaji dan semua bonus yang aku terima. Aku merasa tidak ada yang perlu disembunyikan mengenai penghasilanku, karena memang begitu adanya.

Apa benar pekerjaan ini tidak cocok buatku?
Kepuasan apa yang aku dapatkan dari pekerjaanku yang sekarang?
Apa aku telah cukup memperoleh banyak hal dari pekerjaanku?

Hmm, mari kita lihat....

Aku teringat akan petuah Bapakku (yang aku hormati melebihi langit dan bumi) beberapa tahun silam. Setiap pekerjaan yang kamu lakukan dengan tekun dan sungguh-sungguh, akan membawa kamu kepada keberhasilan.

Aku mulai dari situ.

Apa semua pencapaian dan kepuasan dapat dinilai dengan uang? Coba tanyakan hal tersebut kepada orang-orang yang terlebih dahulu telah membuktikan dirinya menjadi orang-orang yang pantas untuk diingat sepanjang masa. Bunda Theresa, Bill Gates, Nelson Mandela, Mahatma Ghandi, Thomas Alfa Edison, Moh. Hatta, Albert Einstein, Van Gogh, Socrates, dll. Mereka adalah orang-orang yang melebihi masanya. Mereka adalah orang-orang yang sangat total dan mempunyai dedikasi penuh terhadap apa yang sedang mereka kerjakan, walaupun harus dihukum mati atau menjadi gila karenanya. Mereka tidak meminta untuk menjadi kaya, tetapi kekayaanlah yang dengan senang hati menghampiri mereka. Kalaupun mereka menjadi kaya (baik kaya secara materil maupun sprituil) karena apa yang mereka lakukan, hal itu hanyalah bonus dari yang mereka kerjakan. Mereka dihormati bukanlah dari apa yang telah mereka punyai, tetapi dari apa yang telah mereka berikan.

So, apakah materi masih relevan dengan kepuasan?

Sebelum aku mendapatkan pekerjaan ini, aku adalah seorang yang introvert dan sangat soliter. Aku seolah-olah asyik dengan duniaku. Aku jarang mengenal hal-hal yang baru dan orang-orang yang baru. Temanku selalu itu-itu saja. Kalaupun ada, itu pastilah teman untuk sekedar 'say hai' saja. Aku sangat konvensional. Aku tidak mau memikul sebuah tanggung jawab. Aku menjadi pemilih, walaupun tanpa maksud. Aku jarang mengikuti perubahan. Aku bukan trend setter tetapi juga bukan follower. Aku bukan siapa-siapa. Aku bahkan merasa tidak eksis. Dan aku sadar, itu adalah kelemahan terbesarku. Tapi waktu itu aku tidak kuasa untuk merubah perilaku tersebut. Ada keinginan untuk berubah, tetapi aku tidak tahu harus bagaimana dan mulai darimana. Seperti Buya Hamka bilang, ada dua hal yang sangat berat untuk dilakukan manusia, merubah kebiasaan dan membiasakan sesuatu. Aku sadar aku harus berubah, kalau tidak ingin tergilas zaman. Segala sesuatu pasti berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan tidak akan pernah berubah menjadi tidak berubah. Tapi rubah tidak akan berubah menjadi domba...ups, ngaco...kembali ke laptop!
Tapi sejak aku mendapatkan pekerjaan ini, sesuai dengan jabatan dan diskripsi pekerjaan yang aku terima, aku dituntut untuk lebih mengerti banyak hal. Aku dituntut dan dituntun untuk berubah. Aku harus memahami banyak karakter dan syarat utama untuk melakukannya adalah memahami karakter diri sendiri terlebih dahulu. Aku harus melatih dan menampilkan sisi leadership yang aku punya. Dulu aku tidak pernah membayangkan akan sering berbicara di depan orang banyak, sekaligus panutan untuk mereka dan menjadi sabar terhadap suatu kritik atau komplain. Aku diwajibkan untuk memikul tanggung jawab terhadap target-target yang telah ditetapkan. Aku mulai terbiasa dengan tekanan-tekanan, yang sesungguhnya kalau dilihat dari perspektif lain akan menjadi hal yang indah mewarnai perjalanan hidupku. Aku merasa terpuaskan ketika tekanan-tekanan tersebut satu per satu dapat teratasi. Aku bahagia.
Dan, kebahagiaan tersebut belum tentu aku dapatkan seandainya aku tidak bekerja disini atau memilih keluar dari pekerjaan ini. Aku memperoleh banyak hal dari sini. Tuhan menunjukkan rasa sayangNya padaku dengan cara ini. Aku mensyukurinya. Terima kasih Tuhan.
So, apakah materi masih relevan dengan kepuasan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar