Kamis, 26 Februari 2009

Cherryl Sakit Lagi


Hari ini adalah hari liburku untuk minggu ini. Aku belum merencanakan akan mengisinya dengan apa. Tapi ada beberapa usulan dari istriku Yanti, dan Cherryl, anakku. Cherryl minta ke Dufan, setelah sekian lama tidak pernah ke sana (terakhir kesana adalah pada saat ultah Cherryl yang ke-2). Rupanya kenangan akan Dufan meninggalkan kesan yang menyenangkan bagi Cherryl. Buktinya setelah lewat dua tahun, Cherryl masih bisa mengingatnya dengan jelas, bahkan bisa menceritakan bagian-bagian yang aku sendiri sudah lupa. My angel is getting smarter.

Tapi rencana ke Dufan untuk saat ini sepertinya bukanlah ide yang bagus. Tadi malam Cherryl badannya panas. Tidurnya pun gelisah. Sekitar jam 1 malam aku bangunin Yanti dan minta dia menyuapkan obat penurun panas. Selang setengah jam, obat tersebut bereaksi seperti yang aku inginkan. Panasnya hilang. Tapi tidurnya masih gelisah, walaupun sudah berkurang. Seandainya bisa, aku ingin sakit itu dipindahkan ke diriku saja. Aku mau semua beban, derita, rasa sakit, kekecewaan yang dirasakan anakku, aku yang menanggungnya. Walaupun aku tahu itu sebenarnya diperlukan oleh Cherryl untuk proses pematangan diri.

Pagi tadi Cherryl bangun jam 7. Walaupun badannya sudah tidak panas lagi, tapi aku tetap melarangnya untuk ke sekolah. Fisiknya belum terlalu fit untuk aktivitas sekolah. Saat ini yang dia perlukan adalah banyak istirahat dan asupan gizi yang cukup. Sayangnya, kalau bicara soal makanan, Cherryl bukanlah tipe anak yang doyan segala. Makannya susah dan pemilih. Tadi pagi pun makannya kembali bermasalah. Dibuatin susu oleh Mami tidak diminum. Disuapin nasi dengan ikan goreng, juga lebih banyak yang dilepehin. Hal tersebut, seperti biasa, sudah cukup memancing Maminya untuk marah-marah dan ditanggapi dengan tangisan dan ambekan Cherryl. Biasanya kalau sudah sampai titik ini, aku yang mengambil alih untuk menyuapi Cherryl.

Aku berhasil menyuapinya cukup banyak. Tapi setiap kali aku menyuapinya, aku harus membayar harga yang cukup mahal. Aku harus memasang label tegas dan tidak ada kompromi atas setiap rengekan Cherryl. Aku membawanya ke dalam kamar dan tidak boleh ada orang lain yang masuk. Cherryl hanya boleh keluar dari kamar, jika makanannya telah habis. Aku tidak memarahinya., tapi hanya menegasi setiap perintah yang aku berikan kepadanya (paling tidak itu yang ada dalam pikiranku). Saat ini Cherryl belum bisa aku ceramahi mengenai betapa banyak orang yang kelaparan di luar sana. Logikanya masih belum sampai kesana. Aku hanya menjelaskan pentingnya makanan untuk kesehatannya. Yang aku butuhkan hanyalah Cherryl mengunyah dan menelan makanannya.

Cherryl memang mengunyah dan menelan makanannya. Tapi selama waktu aku menyuapinya, dia hanya tertunduk dan tidak berani menatapku dan berusaha menahan tangisnya sambil mengunyah. Hatiku miris. Disatu sisi aku tidak mau dia ketakutan sama aku, Bapaknya sendiri. Tapi disisi lain dia harus mengisi perutnya agar tetap sehat. Inilah harga mahal yang aku maksudkan. Maafkan aku, nak....semuanya hanya demi kebaikanmu.

Setelah makannya selesai, aku langsung membuat suasana yang ceria agar dia dapat segera melupakan tekanan dalam acara makan tersebut. Aku tahu Cherryl sangat menyukai cerita waktu dia masih kecil (biasanya ini aku lakukan waktu dia mau tidur malam). Aku nyalain komputer dan membuka poto-poto waktu Cherryl masih bayi sambil menceritakan suasana dan proses waktu poto tersebut diambil. Dia menikmatinya dan tidak pernah bosan, walaupun ini adalah repetisi yang kesekian kali.

Sekitar 20 menit kemudian, dia jatuh tertidur. Aku tersenyum memandang wajahnya yang polos. You are the most wonderful thing that ever happen in my life. Sleep tight, my angel.

Aku janji, setelah kamu bangun nanti, aku akan membawamu ke tempat arena bermain di mall yang kamu sukai. I love you more than life.

Pada sebuah malam,
Aku dan kutipanku

“ Ladangku adalah waktu,“ kata Goethe.
Dan kita diam-diam berkubang di dasarnya.

Ketika itu hanya ada satu hasratku terhadap waktu, yaitu melampauinya. Seperti kata Pindarus, Piticus ke-3 “ Janganlah mengharapkan kehidupan abadi, tetapi jelajahilah segala yang mungkin sampai tuntas “. Sebab, selalu saja ada yang tumbuh dalam kepalaku, walaupun malu-malu, menggelegak untuk kemudian membuka dunia……..Cut !

What’s a Life ?

Seandainya mencintai saja sudah cukup, segalanya akan terlalu mudah. Begitupun hidup, karena cinta yang abadi adalah cinta yang penuh dengan pertentangan. Semua kehidupan yang dijalani dalam suasana absurd yang kikir tidak akan mampu bertahan tanpa suatu pikiran yang dalam dan tetap, yang menghidupinya dengan kekuatannya, Bahkan itupun hanya dapat berupa suatu rasa kesetiaan yang aneh. Kita telah melihat orang-orang yang dengan sadar melakukan tugas di dalam perang yang paling konyol tanpa merasakan suatu pertentangan bathin. Itu masalahnya karena tidak menghindar terhadap apapun. Dengan demikian terdapat kebahagiaan metafisik untuk menanggung absurditas dunia.

Ini bunga untukmu, Jangan sedih !

Jika Stavrogin percaya, ia tidak percaya bahwa ia percaya. Jika ia tidak percaya, ia tidak percaya bahwa ia tidak percaya.
Itulah pesimisme yang banyak mempengaruhi hidup, dalam artian retorika-retorika hidup yang kadang kita sendiri tidak akan bisa hidup tanpanya.

Untuk sementara, itulah hidup.

Then what life’s for?

Alangkah indahnya jika kita bisa menjadi seseorang, dimana hanya minoritas pejuang tulen yang mampu mencapainya.
Alangkah indahnya hidup, jika kita bisa mencapai ‘kecintaan’ melalui pengorbanan tulus yang seolah tiada akhirnya..
Dan alangkah indahnya cinta, jika kita tiada pernah terpikir untuk menodainya dengan segala penyakit hipokrasi, egosentris, dan ketidakpuasan yang telah lama menjadi budaya manusia yang mengaku dirinya modern.
Anehnya,
itu selalu kita bantah!

Life’s the matter of choice...

Rabu, 18 Februari 2009

Pelajaran Dari Seorang Profesor

Sekitar 3 hari yang lalu aku mendapat SMS dari salah satu dosen pembimbingku. Isinya menyarankan aku untuk segera menyelesaikan tesisku yang sudah tertunda selama 2 tahun. Ini adalah kali ke sekian dari orang-orang yang concern padaku untuk menyarankan hal yang serupa. Persis satu hari sebelum SMS itu aku terima, istriku juga sudah menanyakan kelanjutan dari studi yang sudah aku ambil sejak tahun 2005 tersebut. Dia bilang orang tuanya (mertuaku) juga menanyakan kapan aku diwisuda. Bahkan beberapa teman dalam beberapa kesempatan juga menanyakan hal yang sama, walau pun terkesan basa-basi.

Setahun yang lalu, dosen tersebut juga mengirimkan SMS yang sama. Bahkan beliau langsung meneleponku dan menawarkan bantuan atas kesulitan yang aku hadapi (sesuai tugasnya sebagai dosen pembimbing). Sebenarnya sudah beberapa kali aku menemui beliau untuk berkonsultasi mengenai tesis yang sedang aku kerjakan, dan dalam hal ini beliau cukup membantu sesuai dengan kapasitasnya.

Pada awal pengajuan proposal tesis, sebenarnya aku sudah diingatkan oleh dosen pembimbing yang lain bahwa masalah yang akan aku teliti (berdasarkan judul tesis yang aku buat) tidak akan bisa untuk dibuktikan. Pengalamannya sebagai seorang dosen dengan gelar profesor menyarankan aku untuk mengganti judul. Tetapi pada saat itu aku bersikeras tetap akan melanjutkan penelitian sesuai dengan proposal yang aku ajukan. Terjadi sedikit argumentasi dengan sang profesor. Saat itu alasan yang aku berikan kepada profesor tersebut adalah bahwa sudah ada 2 penelitian terdahulu mengenai hal ini, dan mereka ternyata bisa membuktikannya. Penelitian terdahulu tersebut dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor perhubungan dan sektor telekomunikasi. Sementara penelitian yang akan aku lakukan adalah di perusahaan tempat aku bekerja (bergerak di bidang jasa restoran). Profesor yang sudah berumur lebih dari 60 tahun tersebut memberikan pandangannya tentang proposal penelitian tersebut dengan bahasa teknis dan ilmiah yang sebenarnya sudah aku pelajari, tetapi masih tidak aku mengerti. Sang profesor tetap menyarankan untuk mengganti judul sebagaimana aku tetap bersikeras untuk tidak. Profesor tersebut akhirnya mengalah dan sambil tersenyum (serta mengangkat bahu) beliau akhirnya menandatangani persetujuan atas proposal tesisku.

Saat itu aku merasa menang. Ada sedikit rasa bangga karena aku bisa mengalahkan seorang profesor dalam suatu debat yang sudah menjadi bidangnya.

Tapi rasa bangga tersebut tidak berlangsung lama. Pada saat memasuki bab pembahasan, aku baru menyadari bahwa data yang aku gunakan kurang mencukupi untuk diolah karena hanya menggunakan satu sampel perusahaan saja. Dibutuhkan beberapa sampel perusahaan sejenis agar data dapat diolah. Padahal aku sudah menggunakan program statistik pengolah data terbaru pada saat itu. Dan jika aku harus menambahkan sampel beberapa perusahaan sejenis, itu berarti aku harus mengganti judul penelitian, seperti yang pernah disarankan sang profesor.

Aku merasa ditampar. Tiada muka untuk bertemu dengan profesor itu lagi. Aku malu. Praktis sejak saat itu aku tidak pernah menemui beliau lagi untuk berkonsultasi mengenai bab pembahasan. Beliau telah memberiku pelajaran dengan cara mengalah.

Tetapi bukankah seseorang akan bertambah bijak dari kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan?

Aku akan belajar dari hal ini. Waktu setahun rasanya telah cukup untuk menyembunyikan rasa maluku. Dalam waktu dekat aku akan berusaha untuk mencari judul lain yang sama sekali baru. Tetapi sebagai langkah awal, aku akan mencoba untuk menemui profesor (yang aku hormati 7 zaman) tersebut dan mengakui kesalahan dan kegagalanku. Aku percaya, beliau akan tetap menerimaku dan membimbingku. Moga-moga judul penelitianku yang baru dapat segera beliau tandatangani dengan tersenyum lagi dan tentunya tanpa mengangkat bahu. Dan aku berkeinginan untuk tetap melihat senyum itu pada saat beliau melantikku pada acara wisuda.

Senin, 16 Februari 2009

Hari Pertamaku Menulis Di Blog

Ini hari pertamaku nge-blog. And in the matter of fact, I just don't know what to write. I don't have any idea right now. Satu-satunya alasan aku ada di sini adalah karena aku termotivasi oleh seorang teman yang sudah terlebih dahulu punya blog. Seorang teman yang dulunya aku tahu persis suka membaca. Rasanya tidak mengherankan kalau sekarang tulisan-tulisan di blog-nya mampu merubah paradigmaku yang dulu berpikir hanya orang-orang yang narsis yang bikin blog.
Sebenarnya apa yang ditulis oleh sang teman di dalam blog-nya tersebut sangat sederhana. Isinya adalah seputar kegiatan yang dilakukannya sehari-hari, keluarga, teman, pekerjaan ditambah beberapa (sedikit) poin mengenai pemikirannya terhadap suatu hal. Sederhana. Tetapi kejujurannya dalam penceritaan dan bahasa yang digunakan membuat tulisan tersebut menjadi enak untuk dibaca. Indah malah. Tentunya unsur subjektifitas, kenyataan bahwa aku mengenal dia, ikut mempengaruhi penilaianku terhadap tulisannya tersebut.
Dulu (sebelum menikah) aku suka menulis. jumlahnya tidak banyak. Tulisannya pun hanya berupa puisi, cerpen dan narasi-narasi sederhana mengenai pemikiranku terhadap suatu hal (persis seperti punya temanku). Sayangnya, setelah menikah dan pindah dari kos-an untuk tinggal bersama istri (baca: rumah mertua), tulisan-tulisan tersebut banyak yang tidak terbawa. Malah aku musnahkan karena tidak ingin dibaca orang lain. Hanya sebagian kecil dari tulisan tersebut yang masih ada sampai sekarang. Itu pun kebanyakan puisi.
Sekarang aku bisa mulai lagi untuk menulis. Rasanya aku tidak perlu takut lagi akan label narsis. Toh tulisan ini bukan untuk bermaksud pamer, karena memang tidak ada yang patut untuk dipamerkan disini. Ini hanyalah penyaluran hobi. Ini adalah catatan-catatan kecil seseorang yang bukan siapa-siapa. Moga-moga tulisan ini, suatu saat ke depan, bisa menjadi sarana buat aku untuk bernostalgia, introspeksi diri dan berkontemplasi yang berakhir pada pendewasaan diri. Siapa tahu ada yang membacanya kemudian tergugah untuk mulai menulis juga, just like what my friend did to me.
To my friend: Arizaldi Ardal, whereever you are, thank you for open up my mind. God be with you.